Minggu, 01 November 2009

Biarkanlah saja, itu hak dia bukan kewajiban dia

Di hadapan Tuhan kita ini kecil, tak berdaya dan rapuh maka kita dalam doa
sering kali meminta kepadaNya untuk memberikan apa yang kita butuhkan
dalam hidup ini,
Saya yakin setiap dari kita pasti pernah meminta kepada Dia yang adalah
Tuhan.

Pernahkan ada orang yang belum pernah meminta dalam hidup ini????? Jika
ada, saya ingin sekali berkenalan dengan dia dan belajar menjadi muridnya.

Masalah meminta adalah biasa, yang menjadi masalah berikutnya adalah Ia
yang memberi. Apakah Ia mau lakukan yaitu memberi atau tidak itu adalah
hak Dia dan bukan kewajiabnNya, jadi kita tidak bisa menuntut dari apa
yang kita minta itu.

Kemarin pagi sewaktu saya sedang membaca buku, pintu rumah saya diketok
seorang anak kelas dua smp, saya membukakan pintu dan sebelum ditanya,
anak itu lansung bilang,” bruder saya minta uang jatah bulanan saya yang
bruder berikan”.

Saya kaget setengah mati dengan kalimat anak ini dan saya langsung
menyurunnya masuk dan duduk.

Saya bilang, “ulangi lagi kamu tadi ngomong apa????”.
Anak itu dengan entengnya, kembali mengulangi perkataan minta uang jatah
bulanan.

Kalimat anak ini membuat saya naik darah dan “marah”.

Saya bilang pada anak itu,” kamu salah besar dengan meminta uang itu pada
saya, saya ini apaan kamu????”.

Anak itu hanya diam saja.

Tambah saya,” kamu bukan apa-apa saya dan saya tidak punya kewajiban
memberi uang pada kamu, saya memberi itu hak saya, mau saya beri atau
tidak bukan urusanmu dan kamu tidak bisa menuntut dan meminta pada saya
untuk memberikan uang, enak saja kamu minta uang bulanan pada saya”.
Saya “nyerocos” banyak pada anak ini sampai anak ini “sesenggukan”
menangis dan setelah saya ceramahi cukup panjang lebat, saya menyuruh anak
itu pulang dan saya tidak memberi uang pada anak ini.

Anak ini pulang dengan menangis dan saya bilang,” jangan sekali-kali minta
uang pada saya apalagi jatah bulanan, saya tidak akan memberikan lagi
padamu”.

Saya tidak tahu mengapa saya bisa marah begitu besar pagi ini dan saya
bisa jengkel setengah mati mendengar kalimat anak itu uang meminta uang
jatah bulanan yang saya berikan padanya sedagkan saya belum pernah
memberikan uang pada anak itu karena saya memberikan selalu melalui
ibunya agar uang bisa diatur untuk jajan atau keprluan lain anak itu,
saya memberikan karena anak ini sudah tidak memiliki bapak dan ibunya
hanya bekreja sebagia tukang bersih-bersih rumah.

Setelah anak itu pulang , hati saya masih jengkel dan untuk menghilangkan
kejengkelan, saya duduk didepan Simbok Maria di kamar saya, eh kok saya
malah mengangis disana karena sedih telah marah pada anak itu.

Pikir saya,”kok kasar sekali saya pada anak itu”.

Untuk menghilankan kejengkelan dan kemarahan hati ini, saya menyambar
motor dan keliling denapsar dengan tujuan gak jelas sampai akhirnya
terdampar di tempat teman saya di daerah legian, saya tumpahkan kekesalan
saya pada teman disana.


Saya sadar apa yang saya lakukan “menyakiti” hati anak itu dan juga hati
saya sendiri tapi ini saya lakukan untuk mendidik agar anak itu tidak
seenaknya saja minta uang pada saya seolah saya bertangung jawab dan
berkewajiban memberikan uang padanya.

Memang anak ini dari kelaurga “terbelakang” dan uang itu amat penting dan
berarti baginya, tapi bukan dengan cara itu ia harus meminta, saya
memberi karena kerelaan dan hak saya buka kewajiban saya.

Saya menempatkan pada posisi yang tepat agar tidak membuat anak ini seolah
menuntut “hak” pada saya sedangkan saya tidak punya kewajiban apa-apa pada
anak ini.

Saya melakukan tindakan “kasar’ pada anak ini karena memang disamping saya
sedang banyak masalah dan pengeluaran uang juga membengkak dengan banayk
urusan, saya juga sedang menghadapi hal-hal yang menyita pikiran saya.

Yang pasti saya telah “tidak terkontrol’ dalam memarahi anak ini dan tidak
mengabulkan apa yang diminta oleh anak ini dan membuat anak ini kecewa,
sedih, marah, emrasa bersalah serta “mungkin” sakit hati dengan saya.

Saya sadar bahwa saya melakukan hal ini karena yang pertama ada di benak
saya adalah,”kurang ajar anak ini dan bagaimana kalau saya pas tidak punya
uang???”.

Keadaan tidak akan selalu baik dalam diri kita, gelombang pasang dan surut
akan dialami dan sayapun tidak akan selalu punyan uang dalam kehidupan ini
sehingga saya harus membebaskan diri dari rasa kewajiban untuk memberi,
walaupun dalam penyelenggaraan Tuhan saya yakin akan hidup dalam kecukupan
tidak kurang suatu apapun dan dimampukan menjadi saluran ebrkat bagi
banayk orang. (somboang dikit ya, he he he).

Saya memberi karena kerelaan dan memang ia layak diberi dan bukan karena
keewajiban dan ia bisa menuntut dari apa yang menjadi hak saya.

Doakan saya selalu memiliki uang karena “emak” akan selalu mengirimkan
setiap bulan. He he he he.

Rasa kescewa dan sakit hati yang diamai oleh anak ini karena permintaannya
tidak dikabulkan bahkan “dimarahi”, yang menjadi pemikiran saya dan
perenungan saya dan juga kejekelan dan kemarahan saya.

Saya jengkel karena “hak” saya diusik dan diganti seolah menjadi
“kewajiban”, dan mengapa hak harus menjadikan anak ini kecewa dan mungkin
sakit hati????.

Saya sebagai “pemberi” yang memiliki hak tak harus diwajibkan adalah
“mutlak” tidak bisa diganggu gugat, Ini seperti “kekuasaan” absokud.

Sedangkan anak ini sebagai pihak penerima, tidak bisa menuntut “hak” pada
saya yang memiliki “hak”, karena memang anak ini tidak ada pertalian
antara hak dan kewajiban dengan saya.

Anak ini juga tidak memiliki kewajiabn apa-apa pada saya dan saya juga
bebas dari dia sehingga ia tidak bisa menuntut hak pada saya.

Ia tidak bekerja untuk saya dan juga bukan anak asuh saya, bahkan secara
ektrim bukan apa-apa saya.

Tapi anak ini telah menjadi salah “seolah” hak dan “kebaikan” dari
keiklasan hati saya untuk membwri telah dijadikan kalau itu adalah
kewajiban dan tangung jawab saya padanya.

Pola ini memang seolah membentuk pola yang salah pada anak ini dengan
menjadikan ia seolah seorang “penerima” atau “pengemis”.

Tapi bukankan pengemis tidak boleh menuntut dari pemberian orang, mereka
hanya berhak untuk menerima atau tidak dari kerelaan hati orang lain.

Jadi anak ini bukan meletakan diri sebagai penerima tapi sebagai “preman”
dan ini yang membnaut saya marah padanya.

Ia tidak bisa memaksa orang memberikan “hak”nya padanya dan menjadikan
orang wajib memberika padanya.

Jika pola ini ditarik secara dalam,
Ini sama dengan hidup kita dalam relasi dengan Allah.

Kita tidak bisa merasa kecewa dan sakit hati padaNya karena doa-doa
permohonan kita tidak dikabulkan.

Mengabulkan doa adalah “hak “ Dia dan kita tidak bisa memaksa.

Tapi banyak dari kita menjadi kecewa, marah dan sakit hati kalau doa tidak
dikabulkan.

Orang menjadi lupa dan meninggalkan Dia karena merasa marah, kecewa dan
sakit hati sedangkan hal ini seharusnya tidak perlu dan malah djauhkan
dalam kehidupan.

Dalam keadaan apapun, dikabulkana tau tidak doa kita, relasi harus terus
terjalin dan bahkan membiarkan semua tetap dalam “hak” Dia mengenai hidup
kita terutama akan doa-doa permohonaan kita.

Ia punya alasan lain dengan tidak mengabulkan doa kita.

Seperti saya “marah” pada anak ini karena ia bertindak sebagai preman,
dan saya punya alasan lain disamping itu bukan kewajiban saya untuk
memberi.

Maka sebenarya kita ini adalah sama sebagai “pengemis” kepada Tuhan.
Kita bukan saja pengemis dalam permohonan materi, kesehatan, nasib baik
tapi juga pengemis meminta pengampuanan dari Tuhan atas dosa kita.

Semua pengabulan adalah hak Dia dan kita tak bisa memaksa dan menjadikan
pengabulan doa sebagai kewajiban Dia.

Orang suci dan orang benar adalah mereka yang tetap melakukan doa walaupun
doa dikabulkan atau tidak serta tidak mencampuri urusan pengabulan karena
itu adalah urusan Dia yang punya kuaa dan hak atas doa itu.

Dengan pemahaman seperti ini, bahkan dengan doa tidak dikabulkan dan hidup
mengalami kemalanganpun kita harus selalau rendah hati dan bersyukur
padaNya atas apa yang terjadi.

Tak boleh kita menuntut padaNya apalagi memaksa seeprti preman dan
menjadikan kewajiban kalau Ia harus memberikan setiap yang kita inginkan.

Kita akan menjadi salah jika melakukan ini sepeti apa yang dilakukan anak
smp itu pada saya.

Syukur Allah sulit mengalamai kemarahan dan kejengkelan tidak seperti saya,
Kalau Allah sudah marah pada kita, apa jadinya hidup kita?????
Tak hanya kecewa dan sakit hati tapi kita bisa mati kerena kemarahanNya.

Semoga kita bisa menempatkan posisi yang terbaik dalam hidup ini
menjadikan hidup dalam cinta walaupun doa masih jauh dari apa yang
diharapkan karena Dia belum dan atau tidak mau mengabulkan doa dan harapan
kita.

Cinta padaNya harus terus dibangun dan tetap terjaga dalam keadaan apapun.

Salam dalam cinta membangun dunia dengan menempatkan Ia sebagai pemilik
“hak” akan kebaikan kita dan kita tidak memaksa walaupun hidup dalam
keadaan tidak nyaman sebagaimanapun.

Mencintai Dia adalah keberuntungan, doa dikabulkan adalah kebaikan dan
tidak dikabulkan pun adalah kebaikan karena Ia memiliki rencana terbaik
dalam hidup kita.

Salam membangun dunia baru dengan kesadaran cinta.
petrusp.